Semua orang pasti tahu tentang
mangrove, tapi tidak semua orang tahu jikalau mangrove bisa dijadikan sebagai
tempat wisata. Mungkin orang akan bertanya, apa yang bisa dilihat dari
mangrove ? Apa daya tarik dari pepohonan-pepohonan tersebut ?
Di Indonesia, wisata hutan mangrove belum begitu familiar untuk masyarakat
karena memang baru beberapa daerah yang mulai mengembangkan seperti Bali dan
beberapa daerah di Jawa.
Berbicara tentang wisata khususnya yang berbasis alam, tentu sangat erat
kaitannya dengan nilai estetika yang dimiliki oleh alam tersebut yang bisa
dinikmati atau panorama alami yang memiliki daya tarik tersendiri. Nah pertanyaannya, nilai estetika apa yang
bisa dinikmati di hutan mangrove? Untuk
menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui konsep apa dari
wisata mangrove itu sendiri.
Wisata mangrove merupakan wisata yang menampilkan panorama keindahan
mangrove bersama biota-biota yang hidup di hutan tersebut. Wisata mangrove pada dasarnya merupakan
wisata yang memberikan tawaran keindahan berupa lingkungan alami sehingga
disebut juga sebagai ekowisata atau ecotourism. Ekowisata sendiri, berdasarkan International Ecotourism Society didefinisikan
sebagai "a responsible travel to natural areas which conserves the
environment and improves the walfare of local people” sehingga ekowisata
didefinisikan sebagai suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan
keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi antara lingkungan alam dan
aktivitas rekreasi, konservasi dan pengembangan antara penduduk dan
wisatawan.
Hutan mangrove yang secara umum
berada pada daerah atau kawasan pantai memiliki nilai estetika tersendiri
karena hutan ini berada pada daerah muara sungai atau biasa dikenal dengan
kawasan estuary. Dalam hutan ini, terdapat
tanaman mangrove, ikan dan hewan-hewan yang khas. Pohon mangrove dengan
bentuknya yang melengkung kesana-kemari, batang dengan tekstur yang tidak
merata dan kuat (yang bisa dipanjati), dedaunan lebat, rindang, bunga dan buah yang khas mangrove. Satu hal yang special dari mangrove, akarnya
selain fungsi lazimnya sebagai penopang dan menyerap makanan, juga berfungsi
sebaga “AKAR NAFAS” yang digunakan untuk bernafas oleh mangrove.
Ikan-ikan khas yang dapat ditemukan di mangrove seperti bandeng, ikan
gelodok yang dengan tingkahnya lompat-lompat, kepiting bakau dengan tekstur
badan keras, hitam, bersemayam diantara tanaman-tanaman mangrove,
kepiting-kepiting kecil yang saling berlomba masuk ketika ada arus ataupun
gangguan dari manusia. Belum lagi, hewan-hewan
daratan yang bisa dinikmati seperti monyet yang memanjat di pohon-pohon
mangrove dengan tingkahnya yang menggemaskan, burung-burung dengan warna-warni
dan berkicau bak bernyanyi yang seolah-olah memberikan sapaan kepada para
wisatawan. Begitulah gambaran singkat mengenai keindahan atau nilai estetika
yang ditawarkan pada ekosistem mangrove.
Meskipun demikian, disadari bahwa jika hanya mengandalkan pohon dan
hewan pada daerah tersebut tentu ini tidak akan menjamin keberlanjutan kegiatan
ekowisata. Oleh karena itu dibutuhkan campur tangan manusia melalui penambahan
fasilitas ataupun objek-objek tertentu yang bisa menambah daya tarik. Sebagai contoh kawasan ekowisata hutan mangrove
yang berada di daerah Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur. Di daerah ekowisata tersebut telah ditambahkan
objek-objek pendukung lain seperti jembatan bambu yang dijadikan sebagai jalan
untuk menelusuri hutang mangrove, resto sebagai tempat untuk menikmati makanan
khas produk khas dari ekosistem mangrove seperti ikan bandeng dan kepiting
bakau, gazebo sebagai tempat peristirahatan dan kolam pemancingan yang
dijadikan sebagai area fishing sport.
Penambahan objek-objek pada ekosistem mangrove seperti di Wonorejo hanya
memperlihatkan sebagian kecil yang bisa ditambahkan. Sebenarnya banyak hal yang
bisa ditambahkan seperti penambahan wahana permainan anak-anak, area edukasi
yang berbasis pendidikan lingkungan mangrove dan pesisir serta objek-objek lain
yang berbasis lingkungan. Terlepas dari tujuan menambah nilai estetika ekosistem
mangrove, pada prosesnya penambahan sebaiknya tidak serta merta mengikuti
keinginan manusia akan tetapi harus mempertimbangkan aspek biologi dan
ekologinya. Seperti pada pembuatan
wahana berupa gazebo ataupun resto sebaiknya tidak dibuat dekat dengan kali
mangrove karena ini bisa berdampak negative terhadap pola sirkulasi air,
mengganggu area tempat ikan-ikan untuk mencari makan, bersembunyi ataupun untuk
memijah, dan ditakutkan aktifitas yang terlalu dekat dengan kali akan mengubah
ruaya biota yang terdapat pada daerah tersebut (khususnya ikan).
Pengembangan hutan mangrove sebagai area ekowisata memiliki segudang
manfaat tidak hanya dari segi ekologi dan biologinya tetapi juga dari segi
ekonomi dan sosialnya. Pada prinsipnya, hutan
mangrove yang dijadikan sebagai area ekowisata berdampak positif terhadap
meningkatnya partisipasi masyarakat local, meningkatkan nilai ekonomi, sebagai
area untuk penelitian dan pengembangan, mendukung upaya konservasi dan
pengelolaan lingkungan serta memberiakan solusi untuk permasalahan global
terkait perubahan iklim.
Indonesia memiliki potensi ekositem mangrove yang luas sehingga kegiatan
ini sangat menjanjikan. Namun, walaupun
demikian sebagai catatan kecil dalam pengelolaan ekosistem mangrove sebagai
ekowisata harus memperhatikan beberapa hal penting. Diantaranya, dalam
pengelolan sebaiknya sejak dini harus dipertimbangkan sampah hasil buangan para
wisatawan, penggunaan kapal/katinting sebagai sarana transportasi sebaiknya
diganti dengan perahu tanpa mesin untuk menghindari polusi suara dan polusi
bahan bakar yang digunakan serta yang paling utama, diupayakan kegiatan
ekowisata tidak sampai mempengaruhi atau mengubah keseimbangan ekosistem
terutama hewan-hewan yang hidup di kawasan tersebut akibat frekuensi dan kapasitas
wisatawan yang berkunjung yang meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar